Langsung ke konten utama

“Pandangan Islam Terhadap Fenomena Budaya Pacaran”

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latatar Belakang
Perkembangan zaman dan arus globalisaasi semakin hari semakin berkembang dengan pesat. Tak hentinya budaya-budaya barat berdatangan menyapa negara timur termasuk dengan Indonesia. Banyak hal positif dan negatif yang dapat diambil dari arus globalisasi ini. Termasuk kedalam hal yang negatif  adalah membudayanya perilaku pacaran.
Jika ditinjau lebih jauh sebenarnya pacaran merupakan bagian dari kultur Barat. Sebab biasanya masyarakat Barat mensahkan adanya fase-fase hubungan hetero seksual dalam kehidupan manusia sebelum menikah seperti puppy love (cinta monyet), dating (kencan), going steady (pacaran), dan engagement (tunangan).
Pacaran merupakan hal yang sudah biasa dilakukan oleh sebagian besar orang  pada umumnya serta remaja khususnya, baik yang bertujuan untuk menikah ataupun hanya sebagai wadah untuk menikmati masa muda mereka, dimana kebanyakan dari mereka tidak mengetahui bagaimana hukum pacaran itu menurut Islam. Fenomena ini merupakan akibat dari pengaruh kisah-kisah percintaan dalam novel, film, dan syair lagu. Sehingga menimbulkan spekulasi bahwa hidup memang harus ditaburi dengan bunga-bunga percintaan, kisah-kisah asmara, harus ada pasangan sebagai tempat untuk bertukar pikiran dan berbagi rasa.
Tidak sedikit dari masyarakat yang beranggapan bahwa jika seseorang belum memiliki pacar berarti ia tidak gaul, tidak modern bahkan ada yang mengatakan tidak normal. Sangat disayangkan sekali jika masyarakat yang notabene beragama Islam beranggapan demikian. Sesuatu yang buruk dipandang baik, bahkan mungkin malah dianjurkan seperti halnya dengan pacaran. Pacaran dianggap buruk karena pada dasarnya pacaran merupakan salah satu jalan seseoang menuju gerbang zina.
Fillah (2003, hlm. 28) memandang bahwa semua anggota tubuh bisa menjadi terdakwa dalam masalah zina, sebagaimana dikemukakannya bahwa:
Zina adalah “masuknya timba ke dalam sumur”, inilah bahasa hadits yang dipersaksikan empat orang atau diakui sendiri tanpa ancaman dan paksaan, itulah cermin esensi syariat: bukan menghukum tetapi menjaga kemaslahatan. Zina mungkin juga berupa pacaran yang oleh orang tua modern dikatakan sebagai, anak saya masih mengerti batas-batasnya. Catatan zina tak hanya menggores apa yang ada diantara pusar dan lutut. Semua indera dan anggota tubuh bisa jadi terdakwa, seperti mata, telinga, lisan, tangan, kaki, juga angan. Di bagian manapun, zina mendudukkan diri sebagai potensi celaka yang harus diwaspadai.

Padahal sudah jelas dalam Al Qur’an Allah memerintahkan kita sebagi hambaNya untuk menjauhi zina.
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلً  
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk". (QS. Al Isro: 32)
Larangan ini tidak hanya meliputi peristiwa, melainkan mendekati zina itupun jelas dilarang hukumnya dan segala hal yang mengantarkan padanya juga terlarang. Dalam kaitan ini peran orang tua sangat penting dalam mengawasi pergaulan anak-anaknya terutama yang lebih menjurus kepada pergaulan dengan lain jenis. Adalah suatu keteledoran jika orang tua membiarkan anak-anaknya bergaul bebas dengan bukan muhrimnya.
Dengan demikian, sebagai seorang hmaba yang berserah diri kepada aturan Rabbnya, hendaknya bertanya apakah pacaran diperbolehkan dalam Islam? Oleh karena itu, pada makalah ini penulis ingin memaparkan bagaimana Pandangan Islam terhadap pacaran dengan judul makalah yaitu “Pandangan Islam Terhadap Fenomena Budaya Pacaran”

B.  Rumusan Masalah
1.      Apa definisi Pacaran?
2.      Bagaimana pandangan Islam terhadap fenomena budaya pacaran?
3.      Apa fenomena pacaran zaman sekarang?
4.      Apa dampak dari pacaran?
5.      Apa solusi dalam mengatasi fenomena budaya pacaran?

C.  Tujuan
1.      Untuk mengetahui definisi Pacaran.
2.      Untuk mengetahui bagaimana pandangan Islam terhadap fenomena budaya pacaran.
3.      Untuk mengetahui fenomena pacaran zaman sekarang.
4.      Untuk mengetahui dampak dari pacaran.
5.      Untuk mengetahui solusi dalam mengatasi fenomena budaya pacaran.

D.  Manfaat Makalah
1.      Bagi Penulis
     Dengan adanya pembahasan “Pandangan Islam Terhadap Fenomena Budaya Pacaran” dalam makalah ini, penulis menjadi terbuka pengetahuannya terhadap masalah pacaran dalam kacamata Islam dan dapat menyatakan sikap bahwa pacaran itu tidak diperbolehkan dalam Islam.
2.      Bagi Masyarakat
     Dengan adanya makalah ini, masyarakat akan dapat memilih tindakan apa yang harusnya dilakukan jika cinta menyapa tanpa harus melakukan aktivitas pacaran dan mengelola cintanya sehingga tidak terkena dosa dan tetap sesuai dengan aturanNya.
3.      Bagi Pembaca
     Manfaat makalah ini bagi pembaca adalah dapat menambah referensi bacaan tentang bagaimana Islam memandang fnomena budaya pacaran. Selain itu, pembaca dapat menyimpulkan bahwa pacaran itu dilarang untuk dilakukan.

E. Metode Penulisan Makalah
     Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode studi pustaka. Metode studi pustaka adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.

F. Sistematika Penulisan Makalah
    Sistematika penulisan makalah ini disusun dengan dimulai dari bagian cover atau halaman depan yang berisi judul, tujuan dIbuatnya makalah, penulis makalah dan sebagainya, selanjutnya diikuti oleh kata pengantar penulis, dan daftar isi. Pada bab pertama yaitu pendahuluan menerangkan latar belakang penulisan makalah dengan judul “Pandangan Islam Terhadap Fenomena Budaya Pacaran”, rumusan masalah yang merinci apa saja yang akan dibahas dalam makalah, tujuan penulisan makalah, manfaat penulisan makalah bagi penulis dan masyarakat umum serta pembaca, metode penulisan makalah, dan sistematika penulisan makalah. Pada bab kedua, berisi pembahasan isi makalah sesuai dengan apa yang telah dirinci dalam rumusan masalah pada bab pendahuluan. Yang terakhir adalah bab penutup yang berisi simpulan dan saran dari penulis berdasarkan isi pembahasan dari makalah yang telah dIbuat. Serta diakhiri dengan penyusunan daftar pustaka yang berisi rincian sumber bacaan penulisan makalah.





BAB II
PEMBAHASAN

A.  Definisi Pacaran
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (dalam Kholid, 2013, hlm. 34) mengatakan bahwa pacar adalah kekasih atau teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih. Berpacaran adalah bercintaan; atau berkasih-kasihan dengan sang pacar. Memacari adalah mengencani; atau menjadikan dia sebagai pacar.
Selanjutnya Al-Ghifari (dalam Zaman, 2006, hlm. 96) menyebutkan bahwa kata pacar sendiri berasal dari nama jenis tanaman hias yang cepat layu dan mudah disemaikan kembali. Tanaman ini tidak bernilai ekonomis (murahan) sehingga tidak diperjual belikan. Dengan cerdasa beliau menuliskan, “Hal ini sebagai simbol bahwa pacaran adalah perilaku yang tidak bernilai. Jika sewaktu-waktu puas dengan pacaranya, ia akan mudah beralih kepada pacaranya yang baru.”
Berikut beberapa definisi tentang pacaran menurut tokoh perkembangan remaja dalam penelitian (2011) dengan judul “Kepuasan Pernikahan Pada Pasangan Yang Menikah Dengan Pacaran Dan Tanpa pacaran (Ta’aruf).  diantaranya yaitu:
·         Menurut Himawan (2007: 3) pacaran adalah penjajakan antar pribadi untuk saling menjalin cinta kasih.
·         Santrock (2003: 239) mengemukakan bahwa memilih dan menentukan pasangan untuk dinikahi disebut dengan kencan.
·         Menurut De Genova & Rice (2005) pacaran adalah menjalankan suatu hubungan dimana dua orang bertemu dan melakukan serangkaian aktivitas bersama agar dapat saling mengenal satu sama lain.
·         Menurut Bowman (1978) pacaran adalah kegiatan bersenang-senang antara pria dan wanita yang belum menikah, dimana hal ini akan menjadi dasar utama yang dapat memberikan pengaruh timbal balik untuk hubungan selanjutnya sebelum pernikahan di Amerika.
·         Benokraitis (1996) menambahkan bahwa pacaran adalah proses dimana seseorang bertemu dengan seseorang lainnya dalam konteks sosial yang bertujuan untuk menjajaki kemungkinan sesuai atau tidaknya orang tersebut untuk dijadikan pasangan hidup.
·         Menurut Saxton (Bowman, 1978), pacaran adalah suatu peristiwa yang telah direncanakan dan meliputi berbagai aktivitas bersama antara dua orang (biasanya dilakukan oleh kaum muda yang belum menikah dan berlainan jenis).
·         Kyns (1989) menambahkan bahwa pacaran adalah hubungan antara dua orang yang berlawanan jenis dan mereka memiliki keterikatan emosi, dimana hubungan ini didasarkan karena adanya perasaan-perasaan tertentu dalam hati masing-masing.
·         Menurut Reiss (Duvall & Miller, 1985) pacaran adalah hubungan antara pria dan wanita yang diwarnai keintiman.
·         Menurut Papalia, Olds & Feldman (2004), keintiman meliputi adanya rasa kepemilikan. Adanya keterbukaan untuk mengungkapkan informasi penting mengenai diri pribadi kepada orang lain (self disclosure) menjadi elemen utama dari keintiman.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa pacaran adalah serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh dua orang lawan jenis yang belum menikah dalam rangka mentalurkan rasa sayangnya dan mengenal satu sama lain.

B.  Pandangan Islam terhadap Fenomena Budaya Pacaran
Pacaran tidak diragukan lagi merupakan cara yang haram dan dilarang oleh syariat dalam mencari jodoh atau menyalurkan rasa cinta seseoang terhadap lawan jenis karena  kita jumpai dalam praktek pacaran terdapat berbagai macam pelanggaran syariat diantaranya yaitu:
1.    Mendekati zina
Islam melarang adanya pacaran. Karena pacaran merupakan gerbang awal menuju perzinahan. Memang larangan mengenai pacaran di dalam Islam tidak dibahas secara gamblang. Oleh karenanya banyak orang awam tidak dapat menerima atas hukum pacaran sehinga tetap melakukan aktivitas yang mendekati perzinahan ini.
Meskipun tidak dijelaskan secara gamblang, namun banyak sekali dalil yang dapat di jadikan sebagai rujukan untuk pelarangan aktivitas pacaran tersebut. Telah sama-sama kita ketahui bahwa Islam adalah agama yang mengharamkan perbuatan zina, termasuk juga perbuatan yang mendekati zina. Dalil yang didasarkan dalam pelarangan pacaran antara lain :
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلً    
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. “ (QS. Al Isro: 32)
Maksud ayat di atas menurut  Kholid (2013, hlm. 35)  adalah janganlah kita melakukan perbuatan-perbuatan yang bisa menjerumuskan pada perbuatan zina. Diantara perbuatan-perbuatan tersebut seperti berdua-duaan dengan lawan jenis di tempat yang sepi, bersentuhan termasuk bergandengan tangan, berciuman, dan lain sebagainya.
Selain itu dalam Sebuah hadist Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
Artinya: “Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR. Muslim)
2.    Berdua-duaan (khalwat)
Ini merupakan satu hal yang dilarang diantara jalan menuju zina. Dan berdua-duaan merupakan salah satu aktivitas yang tidak bisa lepas dari kegiatan pacaran. Sedangkan laki-laki dan perempuan yanag bukan mahramnya dilarang untuk berdua-duaan. Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam bersabda, “ Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali dia bersendirian dengan seorang perempuan yang bukan mahrammnya, karena ketiganya  adalah setan (HR. Ahmad).
Selanjutnya dari ‘Umar bin Al Khatab, ia berkhutbah di hadapan manusia di Jabiyah (suatu perkampungan di Damaskus) lalu ia membawakan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ ثَالِثُهُمَا
Artinya,  “Janganlah salah seorang diantara kalian berduaan dengan seorang wanita (yang bukan mahramnya) karena setan adalah orang ketiganya, maka barangsiapa yang bangga dengan kebaikannya dan sedih dengan keburukannya maka dia adalah seorang yang mukmin.” (HR. Ahmad, sanad hadits ini shahih)
3.    Ikhtilat (Bercampur baur laki-laki dan perempuan)
Pacaran menyebabkan ikhtilat (bercampur laki-laki dan perempuan). Dikatakan demikian karena dalam aktivitas pacaran akan terjadi sentuhan antara seseorang dengan yang bukan mahram atau pacarnya, dan kenyataan ini hampir akan selalu kita temui jika kita mendapati seseorang yang berpacaran. Tak jarang kita lihat di tempat-tempat umum dengan bangganya mempertontonkan perilaku pacaran dengan menggandeng pacarnya. Padahal Islam jelas tidak memperbolehkan lawan jenis yang bukan mahram untuk bersentuhan.
Rasulullah salallahu alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Kedua tangan berzina dan zinanya adalah meraba, kedua kaki berzina dan zinanya adalah melangkah, dan mulut berzina dan zinanya adalah mencium (HR. Muslim dan Abu Dawud).
Selanjutnya Rasulullah salallahu alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Lebih baik memegang besi yang panas daripada memegang atau meraba perempuan yang bukan istrinya kalau ia tahu akan berat siksanya.”
Dalam riwayat lain beliau jua bersabda yang arrtinya: “Seandainya kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik dari pada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (Hadist Hasan, Thabrani dalam Mu`jam Kabir 20/174/386)
Kita ketahui bahwasanya jika seseorang ditusuk jarum besi akan menghasilkan ssakit yang luar biasa dan darah yang begitu banyak. Akan tetapi Rasul menganalogikan seseorang yang bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahrom dengan jarum besi yang ditusukkan ke kepala seseorang. Ini menandakan bahwasanya dampak dari sentuhan lawan jenis yang bukan mahrom itu sangat besar.
Oleh karenanya kita sebagi umat Muslim harus senantiasa mengikuti apa yang telah diperintahkan olehNya dan mengikuti sunnah Rasul agar hidup kita bahagia dunia dan akhirat.
4.    Tidak Menjaga Pandangan
Sudah sangat jelas sekali dalam aktivitas pacaran tidak terlepas dari kegiatan pandang-memandang. Padahal Islam telah memerintahkan seseorang untuk menjaga pandangannya karena pandangan merupakan pelopor atau utusan syahwat. Oleh karenanya, menjaga pandangan merupakan modal dalam usaha mengendalikan kemaluan. Maka barang siapa yang melepaskan pandangannya tanpa kendali, niscaya dia akan menjerumuskan dirinya sendiri ke jurang kebinasaan.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah kepada laki–laki yang beriman: ”Hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. An Nuur: 30)
Pada ayat berikutnya Allah juga berfirman, “Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: Hendaklah mereka menundukkan pandangannya, dan kemaluannya” (QS. An Nuur: 31)
Menundukkan pandangan disini bukan berarti memejamkan mata dan menundukkan kepapa ke tanah. Akan tetapi maksud dari menundukkan pandangan disini adalah menjaga pandangan agar tidak dilepaskan begitu saja tanpa kendali sehingga dapat dengan leluasa melihat lawan bicara.
Suatu ketika Rasulullah salallahu alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “ Wahai Ali, janganlah engkau meneruskan pandangan haram yang tidak disengaja denagn pandangan yang lain. Karena pandangan yang pertama mubah untukmu. Namun yang kedua adalah haram.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan dihasankan oleh Al-Albani)

C.  Fenomena Pacaran Zaman Sekarang
Setelah pemaparan di atas mengenai pandangan Islam terhadap fenomena budaya pacaran di atas, jika kita meninjau fenomena pacaran saat ini pasti akan ditemukan perbuatan-perbuatan yang di larang di atas. Kita dapat melihat bahwa bentuk pacaran dapat mendekati zina. Berawal dari pandangan mata, kemudian pandangan tersebut mengendap di dalam hati. Kemudian timbul keinginan bertemu bahkan untuk jalan berdua. Selanjutnya bersentuhan dengan pasangannya dengan bergandengan, bahkan tak jarang akhirnya sampai pada pembuktian cinta dengan berzina. Itulah fenomena yang terjadi dalam aktivitas pacaran pada saat ini.
Berikut beberapa hal yang menyebabkan individu-individu berpacaran menurut DeGenova & Rice (2005) dalam penelitian (2011) dengan judul “Kepuasan Pernikahan Pada Pasangan Yang Menikah Dengan Pacaran Dan Tanpa pacaran (Ta’aruf), antara lain:
·      Pacaran sebagai bentuk rekreasi.
Satu alasan bagi pasangan untuk keluar secara sederhana adalah untuk bersantai-santai, menikmati diri mereka sendiri dan memperoleh kesenangan. Pacaran merupakan suatu bentuk hiburan an ini jugalah yang menjadi tujuan akhir dari pacaran itu sendiri.
·      Pacaran memberikan pertemanan, persahabatan dan keintiman pribadi.
Banyak kaum muda yang memiliki dorongan yang kuat untuk mengembangkan kedekatan dan hubungan yang intim melalui pacaran.
·      Pacaran adalah bentuk sosialisasi.
Pacaran membantu seseorang untuk mempelajari kealian-keahlian sosial, menambah kepercayaan diri dan ketenangan, dan mulai menjadi ahli dalam seni berbicara, bekerjasama, dan perhatian terhadap orang lain.
·      Pacaran berkontribusi untuk pengembangan kepribadian.
Salah satu cara bagi individu untuk mengembangkan identitas diri mereka adalah melalui berhubungan dengan orang lain. Kesuksesan seseorang dalam pengalaman berpacaran merupakan bagian dari perkembangan kepribadian. Satu dari alasan-alasan kaum muda berpacaran adalah karena hubungan tersebut memberi mereka keamanan dan perasaan dihargai secara pribadi.
·      Pacaran memberikan kesempatan untuk mencoba peran gender.
Peran gender harus dipraktekkan dalam situasi kehidupan nyata dengan pasangan. Banyak wanita saat ini menyadari bahwa mereka tidak dapat menerima peran tradisionalnya yang pasif; pacaran membantu mereka mengetahui hal ini dan belajar jenis peran apa saja yang mereka temukan dalam hubungan yang dekat.
·      Pacaran adalah cara untuk memenuhi kebutuhan akan cinta dan kasih sayang.
Kebutuhan akan kasih sayang ini merupakan satu dari motif utama orang berpacaran.
·      Pacaran memberikan kesempatan bagi pencobaan dan kepuasan seksual.
Pacaran menjadi lebih berorientasi seksual, dengan adanya peningkatan jumlah kaum muda yang semakin tertarik untuk melakukan hubungan intim (Michael dalam DeGenova & Rice, 2005).
·      Pacaran adalah cara untuk menyeleksi pasangan hidup.
Kesesuaian dari seleksi pasangan menganjurkan agar individu-individu memiliki kecocokan yang baik dalam karakteristik-karakteristik pokok untuk dapat menikah satu sama lain karena kecocokan dapat meningkatkan kemungkinan bahwa mereka akan mampu membentuk hubungan yang saling memuaskan.
·      Pacaran mempersiapkan individu menuju pernikahan.
Pacaran dapat mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang sikap dan perilaku pasangan satu sama lain; pasangan dapat belajar bagaimana cara mempertahankan hubungan dan bagaimana mendiskusikan dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi.
Adapun menurut penulis sendiri hal-hal yang melatar belakangi seseorang melakukan aktivitas pacaran diantaranya yaitu:
1.    Tidak Memahami isi Al-Qur’an dan As-Sunah
Al-Qur’an dan As-Sunah merupakan pegangan hidup manusia dalam menjalankan segala aktivitasnya. Sebagian besar masyarakat Indonesia adalah beragama Islam. Akan tetapi hanya sedikit orang yang memang benar berperilaku Islam dan sesuai dengan Al Qur’an dan Al-Hadist, selebihnya hanya menjadikan Islam sebagai identitasnya di KTP. Contohnya dalam aktivitas pacaran, banyak umat muslim melakukan kegiatan ini disebabkan karena kurang mengertinya seseroang tersebut terhadap agamanya sendiri dan tidak mengetahui apa hukum pacaran dalam agama Islam.
2.    Adanya rasa suka atau cinta kepada lawan jenis
Rasa suka terhadap lawan jenis merupakan sesuatu yang wajar. Cinta itu merupakan fitrah kemanusiaan. Akan tetapi, bukan berarti ketika Allah mengaruniakan rasa cinta sebagai fitrah kepada kita, lantas kita dapat mengekspresikannya sesuai kehendak kita. Islam merupakan agama yang sempurna, yang mengatur segala bentuk aktivitas-aktivitas manusia. Begitupun dalam hal rasa cinta terhadap lawan jenis Islam telah mengaturnya. Islam tidak pernah mengharamkan cinta, Islam mengajarkan agar cinta tetap terarah dan berjalan pada koridor yang semestinya yakni tidak disalurkan dengan aktivitas pacaran melainkan dengan pernikahan.
3.    Belum pantas dan belum memiliki kemampuan untuk menikah
Ketika seseorang diberi rasa suka dan cinta terhadap lawan jenis maka akan ada keinginan untuk mengekspresikan rasa cinta tersebut. Dan tak sedikit yang mengekspresikan rasa tersebut dengan aktivitas pacaran. Dengan dalih, ia belum siap untuk menikah. Padahal Islam sudah jelas sekali mengatur bagaimana mengelola perasaan ini agar tidak terkena dosa dan sesuai dengan perintahNya. Jika memang dirasa belum siap untuk menikah maka Islam menganjurkan kita untuk berpuasa dan memendamnya. Seperti sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang artinya, “Dan barang siapa belum mampu, hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.” (HR Al-Bukhari)

D.  Dampak dari Pacaran
a.    Mudah terjerumus ke perzinaan.
Suatu hal yang dominan ketika seseorang masuk kedalam aktivitas pacaran adalah mendekati perzinahan. Padahal Allah melarang kita untuk mendekati zina. Yang terlarang dalam zina bukan hanya zinanya sendiri melainkan cara-cara yang dilakukan untuk sampai zina itu pun dilarang.
Hal ini berdasarkan pada ucapan Allah subhanahu wa ta’ala dalam kitabNya yang mulia yang artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang jelek” (QS. Al Isra:32)
As-Sa’di (Assewed,...hlm. 27-28) berkata “Larangan Allah mendekati zina itu lebih tegas daripada sekedar melarang perbuatannya, karena berarti Allah melarang semua hal yang menjurus kepada zina dan mengharamkan seluruh faktor-faktor yang menjurus kepadanya”.
Adapun hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang berkaitan dengan faktor-faktor yang menjurus kepada perzinahan yitu: “Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR. Muslim)
b.    Kehamilan dan aborsi
Kita ketahui bahwasanya praktek pacaran pada zaman sekarang tidak hanya sekedar jalan berdua, mengobrol bersama. Aktivitas-aktivitas yang dilakukakn dalam pacaran sudah melebihi daripada itu. Banyak kalnagn remaja ataupun yang sudah dewasa menjalankan praktek pacaran dengan aktivitas-aktivitas selayaknya sepasang suami istri. Oleh karena Islam sangat melarang perilaku pacaran ini karena dapat menyebabkan seseorang masuk kedalam praktek perzinahan itu sendiri.
Berdasarkan survei Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (Siauw, 2013. Hlm.24) menunjukkan pada tahun 2010 di Jabodetabek remsja yang hilang keperawanannya mencapai 51%. Remaja perempuan yang kegadisannya hilang untuk daerah surabaya mencapai 54%, medan 52%, bandung 47%, dan yogyakarta sebanyak 37 %. Kemudian Komisi Perlindungan Anak Indonesia mendapatkan hasil yang sangat mencengangkan setelah melakukan penelitian di 12 kota besar di Indonesia pada tahun 2007 yakni: 92% pelajar itu telah melakukan kissing, petting, dan oral sex, 62% pernah melakukan hubungan intim, dan 22,7% siswa SMA pernah melakukan aborsi.
c.    Terjadinya Pembunuhan
Terjadinya pembunuhan dalam praktek pacaran dilatar belakangi oleh beberapa hal diantaranya yaitu karena adanya tuntutan dari seorang wanita untuk dinikahi sang pria karena sang wanita tersebut telah mengandung anak sang pria. Akan tetapi pria tersebut enggan untuk menikahi pacarnya tersebut. Karena untuk menutupi perilaku maksiatnya agar tidak diketahui orang lain, tak jarang sang pria membunuh pacarnya. Selain itu juga pembunuhan terjadi karena akibat dari perilaku maksiatnya sehingga menghasilkan seorang anak yang tidak diinginkan, maka anak hasil dari hubungan tanpa pernikahan tersebut digugurkan oleh orang tuanya tersebut.

E.     Solusi Mengatasi Fenomena Budaya Pacaran
Disini penulis ingin memberikan beberapa solusi dalam mengatasi fenomena budaya pacaran diantaranya:
1.    Pencegahan
Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh dalam unsur pencegahan sendiri, diantaranya yaitu:
Orang Tua
Peran orang tua terutama Ibu dalam mendidik sangat berpengaruh sekali terhadap perkembangan anak. Sebagai orang tua terutama Ibu dituntut untuk dapat memahami karakteristik anaknya termasuk dalam naluri seksual berikut tahapan kemunculannya pada diri anak dan cara pengendaliannya menurut Islam.
Seorang Ibu pun harus dapat mengikuti perkembangan zaman dan teknologi agar dapat menontrol lingkup pergaulan anaknya sehingga dapat mendeteksi seawal mungkin jika sang anak mulai berkomunikasi dengan lawan jenisnya. Misalnya, komunikasi lewat handphone.
Hal terpenting yang harus dilakukan orang tua adalah memberikan pemahaman dan penanaman akan nilai-nilai agama serta komunikasi antara orang tua dengan anak haruslan lancar sehingga tidak ada masalah anak yang tidak diketahui oleh Ibunya. Oleh karenanya seorang Ibu harus bisa memberikan kenyamanan kepada anaknya agar anak tidak malu dan takut saat mengungkapkan setiap gejolak perasaan yang dialaminya terhadap lawan jenis. Sehingga anak percaya bahwa Ibunya dapat menjawab semua kegalauannya dan memberinya solusi yang bijak sesuai dengan Al Qur’an dan As-Sunah. Inilah hal yang dapat menumbuhkan kepribadian Islam anak, dan Ibulah yanag sangat berperan dalam hal ini.
Berikut langkah dan tips yang bisa dilakukan Ibu dalam mengawal perkembangan naluri seksual anak, terutama agar anak bisa dicegah dari upaya berpacaran, diantaranya.
Perkuat akidah anak dengan mengajak berpikir tentang kehidupan, tujuan Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan manusia, informasi tentang karakteristik manusia, cara pemenuhan potensi hidup manusia menurut Islam serta akibat pemenuhan yang tidak sesuai dengan aturan Allah subhanahu wa ta’ala, batasan pergaulan di dalam Islam seperti keharusan untuk menundukkan pandangan, menjaga aurat, tidak berkhalwat, dan lain-lain. Hal ini dilakukan dalam rangka membentuk standarisasi Islam dan membina pemikiran anak dalam menyikapi kemunculan naluri seksual.
Buatlah suasana rumah dalam nuansa ibadah yang kuat dan saling beramar makruf nahi mungkar antaranggota keluarga. Biasakan melakukan qiyamul lail, tadarus al-Quran dan shaum sunnah bersama guna memperkuat hubungan dengan Allah subhanahu wa ta’ala hingga muncul pengawasan diri yang selalu melekat.
Ajaklah anak berpikir tentang masa depan dan cita-citanya, juga membuat langkah serta target-target untuk mencapai cita-cita tersebut. Cara ini dimaksudkan agar anak mampu mendeteksi hal-hal yang dapat mendukung atau bahkan menghambat cita-citanya, termasuk dapat memposisikan kemunculan naluri seksual berkaitan dengan cita-citanya ini.
Libatkan anak dalam aktivitas diskusi yang mengasah kemampuan berpikirnya, merangsang kepekaannya terhadap lingkungan dan belajar memecahkan persoalan masyarakat menurut Islam, khususnya yang dihadapi oleh remaja. Latihan ini akan membantu mereka saat mereka sendiri menghadapi masalah yang sama.
Tumbuhkan jiwa kepemimpinannya dengan aktif berorganisasi, beri motivasi untuk selalu berprestasi, berkarya dan maju. Juga dapat dilakukan dengan memberi contoh apa yang dihasilkan oleh para sahabat Rasul, ulama dan ilmuwan Muslim dalam usia muda. Harapannya, anak akan memiliki figur yang selalu menjadi panutannya.
Penuhi anak dengan kasih sayang dan perhatian dari orangtua dan saudara sebagai bentuk lain dari penyaluran naluri seksual sehingga dapat meminimalkan kemunculan naluri terhadap lawan jenis pada usia yang lebih cepat.
Biasakan untuk terus berkomunikasi dengan anak, tidak menganggap tabu untuk membahas seputar masalah naluri jenis ini. Bila perlu berilah contoh langsung bagaimana secara praktis pengalaman-pengalaman dalam mengendalikan naluri seksual dalam usia yang relevan.
Demikian hal pencegahan yang dapat dilakukan seorang Ibu dalam menjalankan kewajibannya, membentuk kepribadian Islami anak. Dengan itu, setiap perkembangan nalurinya (nafsiyah) akan selalu dapat dipecahkan sesuai dengan taraf pemikiran Islamnya (aqliyah).
Diri Sendiri
Pencegahan agar tidak terjerumus kedalam bingkai pacaran yaitu pencegahan yang dilakukan oleh pribadi atau seseorang itu sendiri. Disini perlu adanya pemahaman kepada individu tentang apa itu pacaran, bagaimana Islam memandang pacaran, apa batasan-batasan antara laki-laki dan  perempuan yang bukan mahram, dan lain sebagainya. Pemahaman akan hal ini dapat dilakukan dengan mengadakan kajian-kajian di tempat dimana individu itu berada serta menyalurkan nalurinya pada kegiatan yang menuntut konsentrasi seperti olahraga. Contohnya dalam sekolah anak diwajibkan untuk mengikuti salah satu ekstrakulikuler, selain itu juga memberikan pemahaman lewat organisasi-organisasi keIslaman yang ada di dalam sekolah, kuliah, atau lingkungan masyarakat.
Guru
Kita ketahui bahwa aktivitas pacaran saat ini tidak hanya menjangkit orang yang sudah dewasa, melainkan anak-anak Menengah Pertama, Menengah Atas, bahkan Sekolah Dasar pun melakukan aktivitas pacaran ini. Seorang guru memiliki peran yang sama seperti orang tua ketika berada di sekolah, yakni memberikan bimbingan kepada muridnya. Disini guru harus dapat mengaitkan pembelajaran dengan nilai-nilai Islam agar anak dapat berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Al Qu’an dan As-Sunah. Dengan itu secara tidak langsung akan ada pemahaman kepada anak tentang agamanya sendiri, sehingga anak perlahan-lahan akan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
2.    Pengobatan
Dalam hal pengobatan, artinya jika anak sudah terlanjur melakukan aktivitas pacaran maka peran orang tua dalam hal ini adalah dengan memberikan pemahaman dengan cara baik-baik. Diantaranya orang tua akan meminta anak untuk menghalalkan statusnya, yaitu dengan memintanya menikah. Syaratnya yaitu sang anak sudah cukup dalam segi ekonomi dan usia. Seperti yang telah dikatakan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam yang artinya, Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang mampu untuk menikah, menikahlah, karena menikah itu dapat menundukkan mata dan menjaga kehormatan.... (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Akan tetapi jika sang anak masih dalam usia remaja, dalam segi usia dan ekonomi belum mencukupi maka orang tua meminta anaknya dengan cara baik-baik untuk memutuskan pacarnya. Dan memberikan pengertian kepada sang anak jika belum siap maka berpuasalah sesuai dengan hadist Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam yang artinya,  “...Siapa saja yang belum mampu, hendaklah dia berpuasa, sebab puasa dapat menjadi perisai baginya (HR Al-Bukhari dan Muslim).
BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Setelah mengkaji mengenai Pandangan Islam Terhadap Fenomena Budaya Pacaran, dapat disimpulkan bahwa mulai dari definisi dari pacaran sendiri adalah serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh dua orang lawan jenis yang belum menikah dalam rangka mentalurkan rasa sayangnya dan mengenal satu sama lain.
Selanjutnya pandangan Islam terhadap fenomena pacaran adalah Pacaran tidak diragukan lagi merupakan cara yang haram dan dilarang oleh syariat dalam mencari jodoh atau menyalurkan rasa cinta seseoang terhadap lawan jenis karena  kita jumpai dalam praktek pacaran terdapat berbagai macam pelanggaran syariat.
Selanjutnya berdasarkan fenomena pacaran yang ada pada zaman sekarang, maka akan banyak kita temui pada pasangan yang melakukan aktivitas pacaran yang tidak sesuai dengan syari’at Islam seperti zina mata dengan memandang, zina hati dengan berangan-angan, zina tangan dengan memegang, zina kaki dengan melangkahkan kai untuk bertemu dengan sang pacar, dan lain sebaginya. Dan ini akan berdampak pada perbuatan yang lebih jauh yakni perzinahan itu sendiri. Selain itu akibat dari perzinahan itu pun akan menghasilkan seorang anak yang tidak diharapkan sehingga akhirnya terjadilah pembunuhan. Oleh karenanya perlu adanya pencegahan sejak dini agar perilaku pacaran tidak membudaya. Hal ini bisa dimulai dari keluarga dengan memberikan pemahaman akidah dan penjelasan tentang pacaran dalam Islam, kemudian bisa melalui guru jika anak tersebut masih sekolah dengan memasukkan nilai-nilai agama dalam pembelajaran sehingga anak menjadi tahu dan paham serta dapat menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari.
B.  Saran
Adapun saran yang dapat kami sampaikan dalam pembuatan makalah ini adalah:
a.    Sebagai umat muslim, dalam manjalankan kehidupan sehari-hari seharusnya berpedoman pada apa yang telah diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an dan apa yang telah dicontohkan Rasul danm Al-Hadist.
b.    Sebaiknya kita menjauhi hal-hal yang mendekati kepada zina dan menjaga diri serta keluarga dari hal-hal yang membawa kepada neraka.
c.    Jika sudah terlanjur melakukan aktivitas pacaran segeralah bertaubat dan berjanji tidak akan mengulanginya kembali



DAFTAR PUSTAKA

Hizbut Tahrir. (2010). Mencegah Remaja Pacaran. [Online]. Tersedia: http://hizbut-tahrir.or.id/2010/02/09/mencegah-remaja-pacaran/. [31 Maret 2014]
Fillah, A Salim. 2003. Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan. Yogyakarta. Pro-U Media.

Furqon, Setia dan Agustina, Ina. (2013). Jangan Jatuh Cinta Tapi Bangun Cinta. Sumedang: Tumah Karya Publishing 

Magz, 609. (2013). Pandangan Islam Tentang Pacaran. [Online]. Tersedia: http://609magz.blogspot.com/2013/02/pandangan-islam-tentang-pacaran.html?
=0. [31 Maret 2014]

Siauw, Felix. (2013). Udah Putusin Aja.  Bandung: Mizan

Sukmadiarti. (2011). Kepuasan Pernikahan Pada Pasangan Yang Menikah Dengan Pacaran Dan Tanpa pacaran (Ta’aruf)”. Skripsi Strata pada FPSI USU: tidak diterbitkan.

Universitas Pendidikan Indonesia. (2013). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: UPI PRESS

Zaman, Munawar. (2006).  Jangan Takut Married. Bandung: Mizan



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pembelajaran Apresiasi Sastra Sekolah Dasar

BAB II PEMBAHASAN A.     HAKIKAT SASTRA ANAK 1.       PENGERTIAN, SIFAT, DAN HAKIKAT SASTRA ANAK Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita mendengar orang menyebutan atau mengucapkan ata sastra anak, cerita anak atau bacaan anak. Namun kenyataannya, istilah sastra anak dalam beberapa kamus istilah sastra, seperto Kamus Istilah Sastra ( Panuti Sudjiman, 1990: 71-72) dan Kamus Istilah Sastra ( Abdul Rozak Zaidan, et al. 1994: 181-184), tidak ditemukan lema itu. Demikian juga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ( 1998: 786-787) atau Kamus Bahasa Indonesia Besar (Kamisa, 1997: 473) pun tidak kita temukan lema atau sublema sastra anak. Kata sastra anak merupakan dua patah kata yang dirangkaikan menjadi satu kata sebut, yaitu dari kata sastra dan kata anak. Kata sastra berarti ‘karya seni imajinatif dengan unsure estetisnya dominan yang bermediumkan bahasa’ (Rene Wellek, 1989). Karya seni imajinatif yang bermedium bahasa itu dapat dalam bentuk tertulis ataupun dalam bentuk li

Hubungan Volume Bola dan Volume Tabung

LEMBAR KERJA SISWA Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Model Pembelajaran Matematika Dosen, Dra. Tiurlina, M.Pd. Disusun oleh, Asti Khotimah                          (1100450) Sunny Sufiyah                          (1100533) Siti Herlina                                (1102813) Apriliani                                    (1103856)                    Kelas/Semester  :   Matematika/6                                                                                  PROGRAM STUDI S1 PGSD Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Serang 2014 LEMBAR KERJA SISWA                         Bidang Studi               : Matematika             Topik                           : Hubungan Volume Bola dan Volume Tabung             Kelas / Semester          : VI / 1             Alokasi Waktu            : 1 x 35 menit Petunjuk : 1.       Siapkan alat dan bahan berupa bola plastik, serutan kayu,

REFLEKSI PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS DI SD

            Pembelajaran Bahasa Inggris di SD hendaknya menggunakan metode yang menarik. Anak memulai belajar bahasa sejak kecil. Anak belajar bahasa dari lingkungan sekitar. Lingkungan keluarga sangat berpengaruh besar terhadap belajar bahasa anak. Karena anak akan meniru bahasa yang ada di sekelilingnya, terutama apa yang diucapkan oleh Ibunya. Jadi Ibu atau orang tua harus lebih berhati-hati dalam berkata, dan menjaga apa yang ia katakana agar tidak keluar kata-kata yang kasar. Contohnya saja balita yang sering mendengar Ibunya mengucapkan kata “Mama” ia akan mengikuti apa yang dikatakan oleh ibunya tersebut, dengan pelafalan yang terbata-bata seperti “ma..ma..ma..ma”.             Selain mengajarkan bahasa Ibu (Indonesia), kita juga harus mengajarkan bahasa inggris sedini mungkin. Sebagai calon guru kita harus mempunyai metode yang menarik dalam  pembelajaran yang akan diterapkan dalam mengajar Bahasa Inggris nanti. Bahasa Inggris harus diperkenalkan sejak dini, karena Bahasa I